Pages

Monday, December 20, 2010

Peranan Perbankan Syariah dalam Perekonomian


Mukadimah
Di Indonesia, pengembangan ekonomi Islam telah diadopsi ke dalam kerangka besar kebijakan ekonomi. Paling tidak, Bank Indonesia sebagai otoritas perbankan di tanah air telah menetapkan perbankan syariah sebagai salah satu pilar penyangga dual-banking system dan mendorong pangsa pasar bank-bank syariah yang lebih luas sesuai cetak biru perbankan syariah (Bank Indonesia, 2002). Begitu juga, Departemen Keuangan melalui Badan Pengawas Pasar Modal dan Lembaga Keuangan (Bapepam/LK) telah mengakui keberadaan lembaga keuangan syariah non bank seperti asuransi dan pasar modal syariah. Sementara itu, Departemen Agama telah mengeluarkan akreditasi bagi organisasi-organisasi pengelola zakat, baik di tingkatan pusat maupun daerah.
Tulisan ini dimaksudkan untuk memberikan gambaran singkat tentang peranan perbankan syariah sebagai sistem ekonomi islam dalam perekonomian dan kehidupan masyarakat. Untuk mencapai sasaran tersebut, pada bagian ini akan diuraikan terlebih dahulu tentang konsep ekonomi Islam dan beberapa alasan lahirnya bank syariah dan peranan syariah dalam perekonomian.

Konsep Ekonomi Berdasarkan Tuntunan Islam
Salah satu mispersepsi umum tentang sistem ekonomi Islam adalah bahwa sistem ini merupakan “perpaduan” atau “jalan tengah” di antara sistem ekonomi kapitalis dan sistem ekonomi sosialis. Pandangan semacam ini pada awalnya memang tidak dapat terhindarkan karena:
#1.   Gagasan tentang sistem ekonomi Islam mulai disampaikan para pemikir muslim di tengah-tengah berlangsungnya pertarungan ideologis kapitalisme versus sosialisme. Merujuk pada sejarah ekonomi Islam kontemporer yang ditulis Ahmad (1997), tahap-tahap awal pengembangan ekonomi Islam terjadi pada kuru waktu 1950-an hingga 1980-an, di mana pada saat yang sama kapitalisme dan sosialisme masih kokoh dan berhadap-hadapan diametral;
#2.   Secara kebetulan, sebagian inti gagasan ekonomi Islam mengandung persamaan dengan inti gagasan yang telah ada dalam sistem ekonomi kapitalis atau sistem ekonomi sosialis sehingga inti gagasan ekonomi Islam yang disampaikan dianggap tidak lebih sebagai hasil “comotan” dari sistem ekonomi kapitalis atau sistem ekonomi sosialis.
Meskipun demikian , sistem ekonomi Islam merupakan sistem ekonomi yang “asli” bersumber pada nilai-nilai ajaran Islam (lihat di antaranya Maudoodi, 1984; Nabhani, 2000). Sistem ekonomi Islam dibangun di atas keyakinan dasar bahwa alam dan segala isinya termasuk manusia berkewajiban menjalankan dua tugas utama, yaitu bertauhid kepada Allah (rububiyah, uluhiyah, maupun mulkiyah) dan memakmurkan dunia sesuai dengan cara-cara yang diperintahkan-Nya. Begitu juga, sistem ekonomi Islam didasarkan pada keyakinan bahwa Muhammad SAW adalah rasul dan utusan Allah, pembawa kabar gembira, sekaligus uswatun hasanah bagi seluruh manusia.
            Keyakinan-keyakinan ini membawa konsekuensi pada pemahaman bahwa setiap upaya untuk menata perekonomian harus sesuai dengan ketetapan-ketetapan Allah SWT sebagaimana termaktub di dalam Alqur’an. Begitu juga, dalam tataran rinci, upaya-upaya untuk menata perekonomian harus disandarkan pada contoh-contoh yang telah ditunjukkan oleh Rasulullah Muhammad SAW sebagaimana termuat dalam sunnah-sunnahnya. Dari sini, para pemikir ekonomi Islam telah mencoba mengambil inti-inti ajaran Islam di bidang ekonomi, yang meskipun beragam secara klasifikasi, tetapi praktis tidak mencerminkan pertentangan satu sama lain (di antaranya, Choudhury, 1986; Naqvi, 1994; Chapra, 2000). Dua norma utama yang dapat mewakili inti ajaran Islam di bidang ekonomi tersebut adalah maslahah dan ‘adl.
  • Maslahah terkait dengan nilai absolut keberadaan barang, jasa, atau action (termasuk kebijakan ekonomi) yang kesemuanya harus memenuhi kriteria-kriteria yang mengarah pada perwujudan tujuan syariah (maqashid al-syariah), yaitu perlindungan agama, jiwa, akal, harta, dan keturunan.
  • ‘adl atau adil terkait dengan interaksi relatif antara suatu hal dengan hal lain, individu yang satu dengan yang lain, atau masyarakat tertentu dengan masyarakat lain.
Untuk mewujudkan kedua norma utama tersebut, diperlukan beberapa institusi, yang mencakup antara lain:
#1.  Bentuk kepemilikan yang multijenis (Islam di satu sisi mengakui dan melindungi kepemilikan individu, tetapi di sisi lain juga menekankan penghormatan atas kepemilikan bersama, dalam konteks masyarakat ataupun negara);
#2.   Insentif dunia plus insentif akhirat sebagai pemotivasi untuk melakukan kegiatan ekonomi;
#3.   Kebebasan berusaha;
#4.   Pasar sebagai mekanisme pertukaran ekonomi (lihat Mannan, 1982; Islahi, 1985);
#5.   Peran pemerintah untuk menjaga pasar sedemikian rupa sehingga kemaslahatan dan keadilan dapat terwujud (Jalaluddin, 1985; Kahf, 1998).
Disamping hal-hal di atas, beberapa instrumen juga digunakan sebagai penopang kegiatan ekonomi dan kebijakan. Diantaranya adalah penghapusan riba dan pendayagunaan zakat.
Riba adalah setiap penambahan yang diambil tanpa adanya satu transaksi pengganti atau penyeimbang yang dibenarkan syariah (Chapra,  1984, 2000; Haque, 1995), sementara zakat adalah bagian harta yang wajib ditunaikan oleh setiap muslim untuk membersihkan harta sesuai dengan tuntunan Islam (Faridi, 1980; Hafidhudin, 2002).

 source: Bank Syariah - Teori, kebijakan, dan Studi Empiris di Indonesia (Dr. Amisr Machmud, H. Rukmana, SE, MSi)

No comments:

Post a Comment